Minggu, 28 Agustus 2011

7 (Tujuh) Hal Yang Dikerjakan di Hari Raya ‘Iedul Fitri

- Mandi sebelum berangkat ke Lapangan
- Memakai Pakaian yang Bagus dan Berhias
- Disunnahkan Makan Sebelum ke Lapangan.
Baca selengkapnya dibawah ini.
‘Ied “lebaran” merupakan hari berbahagia dan bersuka cita bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kegembiraan ini nampak di wajah,tindak-tanduk dan kesibukan mereka. Orang yang dulunya berselisih dan saling benci, pada hari itu saling mema’afkan. Ibu-ibu rumah tangga sibuk membuat berbagai macam kue, ketupat, makanan yang akan dihidangkan kepada para tamu yang akan berdatangan pada hari ied. Bapak-bapak sibuk belanja baju baru buat anak dan keluarganya. Para pekerja dan penuntut ilmu yang ada diperantauan nun jauh di negeri orang sibuk menghubungi keluarga mereka, entah lewat surat atau telepon.
Di balik kesibukan dan kegembiraan ini, terkadang mengantarkan sebagian manusia lalai untuk mempersiapkan apa yang mereka harus kerjakan di hari Ied. Diantaranya, seperti berikut ini
1. Dianjurkan mandi sebelum berangkat ke musholla (Lapangan).
Seorang di hari ied disunnahkan untuk bersuci dan membersihkan diri agar bau tak sedap tidak mengganggu saudara kita yang lain ketika sholat dan bertemu. Ini berdasarkan atsar dari
Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang mandi, maka beliau menjawab,
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“(Mandi seyogyanya dilakukan) di hari Jum’at, hari Arafah (wuquf), hari Iedul Adh-ha, dan hari Iedul Fitri“. [HR.Asy-Syafi’i dalam Al-Musnad (114), dan Al-Baihaqy (5919)]
2. Memakai Pakaian yang Bagus dan Berhias dengannya
Diantara bentuk kegembiraan seorang muslim, dia mempersiapkan dan memakai pakaian baru di hari raya iedul Fitri dan iedul Adhha. Ketahuilah, Sunnah ini diambil dari hadits Ibnu Umar , ia berkata:
أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِيْ السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُولَ اللهِ اِبْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ
Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam seraya berkata: [" Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari ied dan para utusan …"] ” [HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (906), Muslim dalam Shohih-nya (2068)]
Al-Allamah Asy-Syaukani -Rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author (3/349),” Segi pengambilan dalil dari hadits ini tentang disyari’atkannya berhias di hari ied adalah adanya taqrir Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bagi Umar atas dasar bolehnya berhias di hari ied, dan terpokusnya pengingkaran beliau atas orang yang memakai sejenis pakaian tersebut, karena ia dari sutera”.
3. Di hari Iedul Fithri Disunnahkan Makan Sebelum ke Musholla (Lapangan)
Sebelum berangkat ke musholla (dalam hal ini: lapangan), maka dianjurkan makan –utamanya kurma- sebagaimana ini dilakukan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam pada hari iedul fitri. Adapun iedul Adhha, maka sebaliknya seseorang dianjurkan makan setelah sholat ied agar nantinya bisa mencicipi hewan kurbannya.
Buraidah –Radhiyallahu- anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ لَا يَخْرُجُ حَتَّى يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّحْرِ لَا يَطْعَمُ حَتَّى يَرْجِعَ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali”. HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (1756). Di-hasan-kan oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (5/352/no.23033)
Al-Muhallab bin Abi Shofroh – Rahimahullah – berkata,”Hikmahnya makan sebelum sholat ied adalah agar orang tidak menyangka wajibnya puasa sampai usai sholat ied. Seakan Nabi r hendak menepis persangkaan itu” . [Lihat Fath Al-Bari (2/447)]
Diantara hikmahnya agar masih ada waktu mengeluarkan shodaqoh di waktu-waktu yang cocok dan sangat dibutuhkannya oleh para faqir-miskin.
Ibnul Munayyir Rahimahullah- berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam makan di dua hari ied pada waktu yang masyru’ (disyari’atkan) agar bisa mengeluarkan shodaqoh khusus bagi ied tersebut. Maka waktu mengeluarkan shodaqoh ied fithri sebelum berangkat (ke musholla), dan waktu mengeluarkan shodaqoh kurban setelah disembelih. Jadi, keduanya bersatu pada satu sisi, dan berbeda pada sisi yang lain.“. [Lihat Fath Al-Bari (2/448)]
4.Bertakbir Menuju Lapangan
Mengumandangkan takbiran saat menuju musholla merupakan sunnah yang dilakukan pada dua hari raya kaum muslimin. Sunnah ini dilakukan bukan Cuma saat keluar dari rumah, bahkan terus dilakukan dengan suara keras sampai tiba di lapangan. Setelah tiba di lapangan, tetap bertakbir sampai imam datang memimpin sholat ied. Inilah sunnahnya !
Ada suatu riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam : “Bahwa beliau keluar di hari iedul Fithri seraya bertakbir sampai tiba di musholla (lapangan) dan sampai usai sholat. Jika usai sholat, beliau hentikan takbir“. HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/165) dan Al-Firyabi dalam Ahkam Al-Iedain (95).Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (171)]
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar Radhiyallahu berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِيْ الْعِيْدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِاللهِ وَالْعَبَّاسِ وَعَلِيٍ وَجَعْفَرٍ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَزَيْدٍ بْنِ حَارِثَةَ وَأَيْمَنَ بْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdullah, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan,Al- Husain , Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat suaranya bertahlil dan bertakbir“. [HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/279) dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa’ (3/123)
Jadi, disyari’atkan di hari ied saat hendak keluar ke lapangan untuk mengumandangkan takbir dengan suara keras berdasarkan kesepakatan empat Imam madzhab. Tapi tidak dilakukan secara berjama’ah.[Lihat Majmu’ Al-Fatawa 24/220]
Muhaddits Negeri Syam, Muhammad Nashiruddin Al-Albany-rahimahullah berkata dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/281) ketika mengomentari hadits pertama di atas,” Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya sesuatu yang telah dilakukan oleh kaum muslimin berupa adanya takbir dengan suara keras di jalan-jalan menuju musholla. Sekalipun kebanyakan di antara mereka sudah mulai meremehkan sunnah ini sehingga hampir menjadi tinggal cerita belaka. Itu disebabkan lemahnya dasar agama mereka serta canggungnya mereka menampakkan sunnah“.
Tentang lafazh takbir, tak ada yang shohih datangnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam . Akan tetapi disana ada beberapa atsar yang shohih datangnya dari para sahabat Radhiyallahu anhum ajma’in.
Dari sahabat Ibnu Mas’ud, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لَاإِلَهَ إِلَّااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
[HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/168) dengan sanad yang shohih]
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/315) dengan sanad yang shohih.]
Salman Al-Farisy, beliau mengucapkan :”Bertakbirlah :
اَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُكَبِيْرًا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/316) dengan sanad yang shohih.]
Adapun tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada dasarnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah-berkata dalam Al-Fath (2/536), “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah (lafazh takbir) itu yang tak ada dasarnya“.
Waktu takbiran di hari raya iedul Adhha mulai waktu fajar hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah). Inilah madzhab Jumhur salaf dan ahli fiqh dari kalangan sahabat dan lainnya. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (24/220)]
Sebagian orang mengkhususkannya takbiran sehabis sholat. Tapi ini tak ada dalilnya. Ini dikuatkan dengan sebuah atsar :”Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu –tasyriq,pen-, seusai sholat, di atas tempat tidur, dalam tenda, majlis, dan waktu berjalan pada semua hari-hari tersebut “. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (1/330)]
5.Disyari’atkan Wanita dan Anak Kecil Ikut ke Lapangan
Di hari ied wanita-walaupun ia haid- dan anak-anak kecil disyari’atkan untuk keluar menyaksikan sholat dan doanya kaum muslimin. Ummu Athiyyah berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَ ذَوَاتِ الْخُدُوْرِ . فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kami mengeluarkan para wanita gadis, haidh, dan pingitan. Adapun yang haidh , maka mereka menjauhi sholat, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah/doanya kaum muslimin.Aku berkata: ” Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya jilbab”. Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) jilbabnya kepada saudaranya“. [Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (971) dan Muslim dalam Ash-Shohih (890)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata dalam Fath Al-Bari (2/470), “Di dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita untuk menyaksikan dua hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik dia itu wanita pingitan ataupun bukan“. Bahkan sebagian ulama’ mewajibkan.
6.Mencari Jalan lain Ketika Pulang ke Rumah
Disunnahkan mencari jalan lain ketika selesai melaksanakan sholat ied. Artinya ketika ia pergi ke musholla mengambil suatu jalan, dan ketika pulang ke rumah di mencari jalan lain dalam rangka mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam .
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلىَ الْعِيْدِ رَجَعَ فِيْ غَيْرِ الطَّرِيْقِ الَّذِيْ خَرَجَ فِيْهِ
Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam- jika keluar ied, beliau kembali pada selain jalan yang beliau tempati keluar“. [HR.Ibnu Majah dalam As-Sunan (1301). Lihat Shohih Ibnu Majah (1076) karya Al-Albaniy]
Berjalan Menuju dan Kembali dari Musholla (lapangan)
Pada hari ied di sunnahkan berjalan menuju musholla untuk melaksanakan sholat ied. Demikian pula ketika kembali ke rumah. Tapi ini jika mushollanya dekat sehingga orang tak berat jalan menuju musholla. Adapun jika jauh atau perlu sekali, maka tak masalah.
Ali bin Abi Tholib-Radhiyallahu anhu- berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
Diantara sunnah, kamu keluar menuju ied sambil jalan“. [HR.At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2/410); di-hasan-kan Al-Albany dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (530)]
Abu ‘Isa At-Tirmidzy- rahimahullah-berkata dalam Sunan At-Tirmidzy (2/410), “Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu. Mereka menganjurkan seseorang keluar menuju ied sambil jalan“.
7.Bersegera (Cepat Berangkat) Melaksanakan Sholat Ied
Demikian pula bersegera berangkat menuju musholla untuk menunaikan sholat ied. Perkara ini dianjurkan agar setiap orang mengambil tempat dan banyak mengumandangkan takbir sampai keluarnya memimpin sholat ied.
Setelah tiba di musholla (lapangan) seseorang tidak dianjurkan sholat sebelum dan setelah sholat ied; juga tidak disunnahkan melakukan adzan dan iqomat, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kita tak pernah melakukan hal itu kecuali jika sholat iednya di masjid ia harus sholat dua raka’at tahiyyatul masjid.
Ibnu Abbas berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya“. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (989)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Walhasil, sholat ied tidak terbukti memiliki sholat sunnah sebelum dan setelahnya, berbeda dengan orang yang meng-qiyas-kannya dengan sholat jum’at“. [Lihat Fath Al-Bari (2/476)]
Jabir bin Samurah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
صَلًَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
Aku telah melaksanakan sholat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam -bukan Cuma sekali dua kali saja- tanpa adzan dan iqomat”.
Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah – rahimahullah- berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam jika tiba di musholla, beliau memulai sholat, tanpa ada adzan dan iqomah; tidak pula ucapan, “Ash-Sholatu jami’ah”. Sunnahnya, tidak dilakukan semua itu“. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/441)]
Dikutip dari http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=913, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah, Judul: Sunnah Ied yang Hampir Terlupakan
Fatwa Ulama- Hukum Seputar Iedul Fitri
Penulis: As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah
Soal 1: Apa yang disunnahkan sebelum seseorang pergi untuk sholat idul fitri dan idul adha?
Jawab : Disunnahkan pada idul fitri untuk makan kurma dengan jumlah ganjil sebelum seseorang pergi kelapangan untuk sholat idul fitri. Adapun idhul adha, disunnahkan bagi yang berkurban untuk makan sebagian daging korban yang disembelihnya setelah sholat.
Berkaitan dengan mandi, sebagian ulama mengatakan hukumnya adalah sesuatu hal yang di cintai, demikian juga berpakaian dengan pakaian yang paling bagus.
Jika seseorang mencukupkan diri dengan wudhu dan memakai pakaian biasa pada sholat ied maka boleh.
Soal 2: Mana yang sunnah antara berjalan dan berkendaraan ketika seseorang pergi untuk menjalankan sholat Ied ?
Jawab : Yang disunnahkan berjalan kecuali jika dibutuhkan untuk memakai kendaraan maka boleh.
Soal 3: Apakah dalam sholat ied ada adzan dan iqomah?
Jawab : Dalam sholat ied tidak ada adzan dan iqomah sebagaimana disebutkan dalam sunnah. Sebagian ahlul ‘ilmi berkata ; dalam sholat ied memakai lafazh panggilan “Ash sholaatu Jaami’ah” pendapat ini tidak bersandar dengan dalil dan lemah. Tidak dibenarkan menyamakannya dengan sholat kusuf ( gerhana ) karena keberadaan sholat kusuf bukan sebagai syiar untuk manusia sebagaimana sholat ied. Maka yang sunnah tidak ada adzan, iqomah, dan tidak dengan menggunakan lafazh panggilan “Ash sholaatu Jaami’ah”. Setelah manusia keluar dan berkumpul, kemudian imam telah hadir untuk langsung ditegakkan sholat dengan tanpa adzan, kemudian setelah itu khutbah.
Soal 4: Jika ‘iedul fitri bertepatan dengan hari Jum’at, apakah boleh aku menjalankan sholat ‘ied dan meninggalkan sholat Jum’at atau sebaliknya ?
Jawab : Jika keadaannya demikian, bagi seorang muslim yang telah menjalankan sholat ‘ied sebagai makmum maka gugur kewajibannya untuk menjalankan sholat Jum’at dan sunnah baginya bila ingin menjalankan sholat jum’at .Jika dia tidak menjalankan sholat Jum’at maka wajib baginya untuk sholat dzuhur, ini bagi ma’mum. Adapun seorang imam maka wajib baginya menjalankan sholat Jum’at bersama kaum muslimin setelah dia manjalankan sholat ‘ied (Syaikh Sholih Fauzan)
Soal 5: Apakah boleh menampakan kegembiraan dan suka cita di hari raya ‘iedul fitri, ‘iedul adha, malam 27 Rajab, malam niysfu Sya’ban, hari Asy syura ?
Jawab : Apabila yang demikian dilakukan pada ‘iedul fitri/ ‘iedul adha maka boleh selama dalam batasan-batasan syari’at. Seperti bersuka cita dengan hidangan makan dan minum sebagaimana sabda Nabi (yang artinya) : “Hari-hari Tasyrik adalah hari hari makan dan minum serta dzikrulloh.” Yaitu 3 hari setelah ‘iedul adha menikmati nikmat Allah azza wa jalla. Demikian juga ‘iedul fitri selama dalam batasan batasan syar’i.
Adapun pada malam 27 Rajab, Malam niysfu Sya’ban, hari Asy syura maka tidak boleh merayakan/ memperingatinya dengan kegembiraan sebagaimana sabda Nabi (yang artinya) : “Berhati-hatilah kalian dengan perkara baru dalam agama, sesunguhnya setiap bid’ah (perkara baru) dalam agama adalah sesat “.
Kemudian, anggapan malam 27 Rajab adalah malam isra mi’rajnya Nabi Muhammad adalah tidak benar dalam sejarah Islam. Pun kalau seandainya itu benar, maka tidak boleh dirayakan sebagaimana ‘ied dan dirayakan dengan ibadah, karena yang seperti ini tidak pernah ada pada zaman Nabi . Adapun hari Asy syura’ yang dianjurkan adalah berpuasa pada hari itu. Puasa pada hari itu dikatakan oleh Nabi : “menghapuskan dosa dosa tahun sebelumnya”.

Sabtu, 20 Agustus 2011

KENALI CIRI-CIRI MALAM LAILATUL QODAR

Lailatul Qodar merupakan satu malam yang mempunyai kelebihan lebih dari seribu bulan yang lain. Ini dapat kita lihat daripada apa yang telah dinukilkan oleh Allah Subhaanahu wa ta’ala di dalam al-Quran dalam surah al-Qadar. Begitu juga dengan apa yang telah diberitahukan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadis yang sohih. Kita disuruh untuk menghidupkan malam lailatul qadar dan tidak membiarkannya berlalu begitu saja. Berikut adalah panduan untuk mengenal keutamaan, kapan waktunya, tanda-tanda, serta ciri-ciri malam Lailatul Qodar tersebut.
———————————————–
Lailatul Qadar
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur’an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman (yang artinya),
[1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. [2]Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah,
[3]Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS Ad Dukhoon: 3 - 6]
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah).
Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau, “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab, “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/388).
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda, (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata): Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukhari 4/221 dan Muslim 1165).
Ini menafsirkan sabdanya (yang artinya), “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas).
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda, “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27, 25 (dan dalam riwayat lain: tujuh, sembilan, lima).” (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.
Kesimpulannya, jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata, “Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan.”
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat
demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata, “Aku bertanya, Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?” Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.” (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali).
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).
Juga dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, (dia berkata), “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.”(HR Muslim 1174).
4. Tanda-tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolonganNya- sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari Ubay radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda (yang artinya), “Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thayalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
Dikutip dari Sifat Puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penerbit Pustaka Al-Mubarok (PMR) penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Judul asli “Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan” Bab “Malam Lailatul Qadar”
Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia
Sumber : dari http://ghuroba.blogsome.com/2007/09/25/malam-lailatul-qadar/

Kamis, 18 Agustus 2011

Al-Qur`an Obat Segala Penyakit

Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
Al-Qur`an mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat- ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
نُنَزِّلُ
“Kami turunkan.” Jumhur ahli qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid. Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi juga meriwayatkan demikian dari Hafs. (Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 3/253)
مِنَ الْقُرْآنِ
“dari Al-Qur`an.” Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat), menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Al-Qur`an. Kata min di sini tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur`an ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu. Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…” (An-Nur: 55)
Kata min dalam lafadz مِنْكُمْ tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya adalah orang- orang yang beriman dan beramal shalih. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan At-Thibb An-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138)
شِفَاءٌ
“Penyembuh.” Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.
Penjelasan Tafsir Ayat
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`an, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya baik dari sisi depan maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Al-Qur`an- lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping itu, ia merupakan rahmat yang dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan dan mendorong untuk melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Al-Qur`an akan menjadi penyembuh dan rahmat.
Adapun orang kafir yang mendzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan Al-Qur`an tidaklah bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيْدٍ
Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” (Fushshilat: 44)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ. وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/60)
Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat- ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
Penyembuhan yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Al-Qur`an) mengandung ilmu yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan pemberi nasehat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu, Al-Qur`an juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.
Adapun rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat ataupun lambat.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 465)
Al-Qur`an Menyembuhkan Penyakit Jasmani
Suatu hal yang menjadi keyakinan setiap muslim bahwa Al-Qur`anul Karim diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia, menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dirahmati-Nya. Namun apakah Al-Qur`an dapat menyembuhkan penyakit jasmani?
Dalam hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit hati; Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz, dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian pula disebutkan Asy- Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” (Fathul Qadir, 3/253)
Pendapat ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Zadul Ma’ad:
Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan) nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)
Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Al-Qur`an.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.Beliau radhiallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena sihir1, sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya.
Lalu beliau berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang munafiq.’
(Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.
(Yang satu) bertanya: ‘Di mana?
Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
‘Aisyah radhiallahu ‘anha lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau mengeluarkannya. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.”
Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab At-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama Al-Fath). Juga dalam Shahih-nya (kitab Al-Adab, bab Innallaha Ya`muru Bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063). Juga diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), Al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah (170/210), dan Al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272). Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah Subhanahu wa Ta’ala):
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Hingga selesai bacaan surah tersebut.”
Demikian pula yang diriwayatkan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sekelompok2 shahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.
Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu? Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’
Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing3. Maka dia (salah seorang shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.
Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata: ‘Bagilah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’
Merekapun menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu beliau berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa.”
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ
“Sebaik-baik obat adalah Al-Qur`an.”
Dan hadits:
الْقُرْآنُ هُوَ الدَّوَاءُ
Al-Qur`an adalah obat.
Keduanya adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.
Membuka Klinik Ruqyah
Di antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi, seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktek khusus. Ini merupakan amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa penyimpangan dalam meruqyah:
“Pertama, dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi bahwa manusia membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari petunjuk para shahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para shahabat dan tabi’in.
(Menjadikan meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan. Petunjuk Salaf dan bimbingan As-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.
Demikian pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang. Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa petunjuk. Barangsiapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang atau yang tidak diperkenankan syariat. (Ar-Ruqa Wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh, hal. 20-21)
1 Sebagian para pengekor hawa nafsu dari kalangan orientalis dan ahli bid’ah mengingkari hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terkena sihir, dan berusaha menolaknya dengan berbagai alasan batil. Dan telah kami bantah –walhamdulillah- para penolak hadits ini dalam sebuah kitab yang berjudul Membedah Kebohongan Ali Umar Al-Habsyi Ar- Rafidhi, Bantahan ilmiah terhadap kitab: Benarkah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tersihir? Dan kami membahas secara rinci menurut ilmu riwayat maupun dirayah hadits. Silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
2 Dalam riwayat lain mereka berjumlah 30 orang.
3 Dalam riwayat lain: 30 ekor kambing, sesuai jumlah mereka.

Senin, 15 Agustus 2011

Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses Akad Nikah

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “Coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
1. Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:
- Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
-Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
-Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
2. Nazhar (Melihat calon pasangan hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar (melihat calon)
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.
3. Khithbah (peminangan)
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
4. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
5. Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
6. Setelah akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah rad..
3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)
4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Dikutip dari http://Asysyariah.com Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim, Judul: Proses Syar’i Sebuah Pernikahan